Eine Plattform für die Wissenschaft: Bauingenieurwesen, Architektur und Urbanistik
JUSTICE COLLABORATOR DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
Dalam hukum acara pidana seorang yang melakukan tindak pidana haruslah diperiksa terlebih dahulu dan memiliki dasar hukum dipidanankan karena saat berbicara masalah Justice Collaborator belum bisa ditentukan bahwa orang yang melakukan kejahatan tersebut karena dari dirinya dan bisa jadi dari orang lain yang berada diatas karena adanya tekanan dari atasan. Oleh karena itu peneliti bertujuan untuk mengetahui tentang 1) Bagaimana pemberlakuan Justice collaborator dalam pembuktian pidana acara di Indonesia. 2) idealnya pengaturan hukum Justice collaborator dalam hukum Tindak Pidana acara di Indonesia, Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif dengan Tipe penelitian yang digunakan adalah reform-oriented research dan bersifat preskriptif analitis. Bahan Hukum Primer yang digunakan adalah KUHAP dan SEMA No: 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (Justice collaborator). Analisis data menggunakan analisis studi bahan hukum yang berlaku. Hasil penelitian bahwa 1) Pemberlakuan Justice collaborator dalam pembuktian hukum acara pidana di indonesia karena mengingat peranan saksi pelaku (Justice collaborator) dewasa inidinilai sangat mendominasi dalam pengungkapan fakta- fakta materiil di dalam persidangan. Narasi demikian diamini Romli Atmasasmita yang mengungkapkan bahwa, sebagian alat bukti (petunjuk, surat dan dokumen elektronik) dapat memiliki nilai kekuatan pembuktian mengikat (beweis lag) jika hakim sudah meyakini bahwa alat bukti lainnya memiliki kesesuaian dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa. alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana.Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.Hampir semua pembuktian perkara pidana, selau bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. 2) Idealnya pengaturan hukum Justice collaborator dalam hukum tindak pidana acara di Indonesia secara umum yang harus diperhatikan adalah kaidah dari hukum perlindungan kesaksian yang dianggap sebagai saksi mahkota. Sebab tidak ada lagi saksi lainnya yang menyaksikannya baik dari saksi orang ataupun dari barang bukti CCTV yang ada. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dalam hukum acara pidana harus mempertimbangan bahwa saksi kunci yang memiliki masalah tindak pidana tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena Justice collaborator tersebut harus dilindungan agar kesaksiannya dapat dipertanggungjawabkan dan harus dilindungan secara hukum HAM yang melindungi semua orang termasuk dalam kategori sebagai Justice collaborator.
JUSTICE COLLABORATOR DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
Dalam hukum acara pidana seorang yang melakukan tindak pidana haruslah diperiksa terlebih dahulu dan memiliki dasar hukum dipidanankan karena saat berbicara masalah Justice Collaborator belum bisa ditentukan bahwa orang yang melakukan kejahatan tersebut karena dari dirinya dan bisa jadi dari orang lain yang berada diatas karena adanya tekanan dari atasan. Oleh karena itu peneliti bertujuan untuk mengetahui tentang 1) Bagaimana pemberlakuan Justice collaborator dalam pembuktian pidana acara di Indonesia. 2) idealnya pengaturan hukum Justice collaborator dalam hukum Tindak Pidana acara di Indonesia, Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif dengan Tipe penelitian yang digunakan adalah reform-oriented research dan bersifat preskriptif analitis. Bahan Hukum Primer yang digunakan adalah KUHAP dan SEMA No: 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (Justice collaborator). Analisis data menggunakan analisis studi bahan hukum yang berlaku. Hasil penelitian bahwa 1) Pemberlakuan Justice collaborator dalam pembuktian hukum acara pidana di indonesia karena mengingat peranan saksi pelaku (Justice collaborator) dewasa inidinilai sangat mendominasi dalam pengungkapan fakta- fakta materiil di dalam persidangan. Narasi demikian diamini Romli Atmasasmita yang mengungkapkan bahwa, sebagian alat bukti (petunjuk, surat dan dokumen elektronik) dapat memiliki nilai kekuatan pembuktian mengikat (beweis lag) jika hakim sudah meyakini bahwa alat bukti lainnya memiliki kesesuaian dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa. alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana.Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.Hampir semua pembuktian perkara pidana, selau bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. 2) Idealnya pengaturan hukum Justice collaborator dalam hukum tindak pidana acara di Indonesia secara umum yang harus diperhatikan adalah kaidah dari hukum perlindungan kesaksian yang dianggap sebagai saksi mahkota. Sebab tidak ada lagi saksi lainnya yang menyaksikannya baik dari saksi orang ataupun dari barang bukti CCTV yang ada. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dalam hukum acara pidana harus mempertimbangan bahwa saksi kunci yang memiliki masalah tindak pidana tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena Justice collaborator tersebut harus dilindungan agar kesaksiannya dapat dipertanggungjawabkan dan harus dilindungan secara hukum HAM yang melindungi semua orang termasuk dalam kategori sebagai Justice collaborator.
JUSTICE COLLABORATOR DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
Aulia Shafira (Autor:in)
2025
Aufsatz (Zeitschrift)
Elektronische Ressource
Unbekannt
justice collaborator , pembuktian , hukum acara pidana , Social Sciences , H , Law , K
Metadata by DOAJ is licensed under CC BY-SA 1.0
Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Justice Collaborator di Indonesia
DOAJ | 2024
|Penetapan Tersangka Menurut Hukum Acara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
DOAJ | 2018
|