A platform for research: civil engineering, architecture and urbanism
TRADISI PENETAPAN DO’I MENREK DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT SUKU BUGIS SOPPENG (ANALISIS TEORI ‘URF DAN APPANNGADERENG DALAM HUKUM ADAT SUKU BUGIS)
Orang-orang Bugis-Makassar terikat oleh sistem norma dan aturan adat yang disebut dengan panngadereng. Ade’ yang merupakan unsur bagian dari panngadereng secara khusus terdiri dari ade’ akkalabinengeng (norma mengenai hal-ihwal perkawinan dan hubungan kekerabatan). Salah satu di antara ade’ akkalabinengeng adalah adanya tradisi do’i menrek atau balanca dalam perkawinan masyarakat Bugis. Praktik do’i menrek yang ada pada masyarakat Bugis Soppeng dilatarbelakangi oleh faktor sejarah yang menjungjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya dari para leluhur mereka sehingga sampai saat ini dianggap sebagai kearifan lokal. Dalam tradisi perkawinan suku Bugis Soppeng, mahar yang merupakan salah satu ketentuan dalam hukum perkawinan Islam, dalam masyarakat suku Bugis disebut sompa. Sompa ini sepenuhnya menjadi hak-milik pengantin wanita sebagai wujud penghormatan pengantin pria kepada pengantin wanita. Meskipun ketentuan do’i menrek-balanca hanya berdasarkan tradisi masyarakat Suku Bugis tetapi kedudukannya sama dengan mahar (sompa) yaitu sama-sama mengikat. Dari perspektif teori ‘Urf, termasuk dalam kategori ‘Urf Shahih karena sesuai dengan kaidah fiqhi “al-‘Adatu Muhakkamatun”, sedangkan dalam perspektif appangngadereng, do’wi menrek adalah ade’ akkalabinengeng yang dibebankan kepada mempelai pria merupakan ukuran keseriusan dan kekayaan mempelai laki-lak karena besarnya jumlah uang belanja atau do’i Menrek merupakan media utama bagi masyarakat Bugis untuk menunjukkan posisinya dalam Masyarakat, bahkan termasuk dalam kategori pengejawantahan nilai-nilai siri’.
TRADISI PENETAPAN DO’I MENREK DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT SUKU BUGIS SOPPENG (ANALISIS TEORI ‘URF DAN APPANNGADERENG DALAM HUKUM ADAT SUKU BUGIS)
Orang-orang Bugis-Makassar terikat oleh sistem norma dan aturan adat yang disebut dengan panngadereng. Ade’ yang merupakan unsur bagian dari panngadereng secara khusus terdiri dari ade’ akkalabinengeng (norma mengenai hal-ihwal perkawinan dan hubungan kekerabatan). Salah satu di antara ade’ akkalabinengeng adalah adanya tradisi do’i menrek atau balanca dalam perkawinan masyarakat Bugis. Praktik do’i menrek yang ada pada masyarakat Bugis Soppeng dilatarbelakangi oleh faktor sejarah yang menjungjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya dari para leluhur mereka sehingga sampai saat ini dianggap sebagai kearifan lokal. Dalam tradisi perkawinan suku Bugis Soppeng, mahar yang merupakan salah satu ketentuan dalam hukum perkawinan Islam, dalam masyarakat suku Bugis disebut sompa. Sompa ini sepenuhnya menjadi hak-milik pengantin wanita sebagai wujud penghormatan pengantin pria kepada pengantin wanita. Meskipun ketentuan do’i menrek-balanca hanya berdasarkan tradisi masyarakat Suku Bugis tetapi kedudukannya sama dengan mahar (sompa) yaitu sama-sama mengikat. Dari perspektif teori ‘Urf, termasuk dalam kategori ‘Urf Shahih karena sesuai dengan kaidah fiqhi “al-‘Adatu Muhakkamatun”, sedangkan dalam perspektif appangngadereng, do’wi menrek adalah ade’ akkalabinengeng yang dibebankan kepada mempelai pria merupakan ukuran keseriusan dan kekayaan mempelai laki-lak karena besarnya jumlah uang belanja atau do’i Menrek merupakan media utama bagi masyarakat Bugis untuk menunjukkan posisinya dalam Masyarakat, bahkan termasuk dalam kategori pengejawantahan nilai-nilai siri’.
TRADISI PENETAPAN DO’I MENREK DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT SUKU BUGIS SOPPENG (ANALISIS TEORI ‘URF DAN APPANNGADERENG DALAM HUKUM ADAT SUKU BUGIS)
Abdul Halim (author) / Enon Kosasih (author)
2019
Article (Journal)
Electronic Resource
Unknown
Metadata by DOAJ is licensed under CC BY-SA 1.0
DISKRIMINASI DALAM HUKUM PERKAWINAN (PENELITIAN ATAS HUKUM PERKAWINAN ADAT SUKU NIAS)
DOAJ | 2016
|Perubahan Tatanan Budaya Hukum pada Masyarakat Adat Suku Baduy Provinsi Banten
DOAJ | 2017
|