A platform for research: civil engineering, architecture and urbanism
Kesenian Sintren dalam tarikan Tradisi dan Modernitas
Di tengah derasnya tekanan modernitas, produk budaya sebagai budaya adiluhung kreasi anak bangsa dipertahankan eksistensi dan keberlangsungannya. Salah satunya adalah kesenian daerah “Sintren” yang berkembang sepanjang wilayah Pantura Jawa Tengah bagian barat khususnya di Kabupaten Pemalang. Kesenian Sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat tentang kisah percintaan Sulasih dan R. Sulandono, seorang putra Bupati Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Kesenian tari Sintren dianggap unik, karena banyak yang mengatakan gerakannya di luar kesadaran akal sehat, diiringi lagu dan beberapa alat musik sederhana. Seiring dengan perkembangan zaman sintren sebagai suatu seni adalah salah satu dari bagian kebudayaan yang terkena imbas arus modernitas. Bentuk-bentuk modernitas, misalnya tempat-tempat hiburan yang bersifat modern antara lain: bioskop, café, karaoke, mall, dan sebagainya menggusur keberadaan kesenian sebagai alternativ hiburan yang mengandung unsur-unsur pendidikan dan pencerahan, khususnya kesenian tradisional. Kesenian Sintren kehilangan pamornya antara lain karena masyarakat sendiri sudah tidak peduli pada kesenian Sintren. Mereka beranggapan, pementasan kesenian Sintren sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Namun demikian keberdayaan seni Sintren tetap eksis karena adanya semangat para pelaku seni Sintren yang berusaha menghidupkan kesenian Sintren lebih dari sebuah "pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang, atau ingin mempertahankan nilai-nilai kearifan yang tersimpan di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh anggota Paguyuban Sintren Slamet Rahayu Dusun Sirau Kelurahan Paduraksa.
Kesenian Sintren dalam tarikan Tradisi dan Modernitas
Di tengah derasnya tekanan modernitas, produk budaya sebagai budaya adiluhung kreasi anak bangsa dipertahankan eksistensi dan keberlangsungannya. Salah satunya adalah kesenian daerah “Sintren” yang berkembang sepanjang wilayah Pantura Jawa Tengah bagian barat khususnya di Kabupaten Pemalang. Kesenian Sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat tentang kisah percintaan Sulasih dan R. Sulandono, seorang putra Bupati Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Kesenian tari Sintren dianggap unik, karena banyak yang mengatakan gerakannya di luar kesadaran akal sehat, diiringi lagu dan beberapa alat musik sederhana. Seiring dengan perkembangan zaman sintren sebagai suatu seni adalah salah satu dari bagian kebudayaan yang terkena imbas arus modernitas. Bentuk-bentuk modernitas, misalnya tempat-tempat hiburan yang bersifat modern antara lain: bioskop, café, karaoke, mall, dan sebagainya menggusur keberadaan kesenian sebagai alternativ hiburan yang mengandung unsur-unsur pendidikan dan pencerahan, khususnya kesenian tradisional. Kesenian Sintren kehilangan pamornya antara lain karena masyarakat sendiri sudah tidak peduli pada kesenian Sintren. Mereka beranggapan, pementasan kesenian Sintren sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Namun demikian keberdayaan seni Sintren tetap eksis karena adanya semangat para pelaku seni Sintren yang berusaha menghidupkan kesenian Sintren lebih dari sebuah "pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang, atau ingin mempertahankan nilai-nilai kearifan yang tersimpan di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh anggota Paguyuban Sintren Slamet Rahayu Dusun Sirau Kelurahan Paduraksa.
Kesenian Sintren dalam tarikan Tradisi dan Modernitas
Puji Dwi Darmoko (author)
2016
Article (Journal)
Electronic Resource
Unknown
Metadata by DOAJ is licensed under CC BY-SA 1.0
Sejarah Pemberontakan dalam Tiga Bab: Modernitas, Belasting, dan Kolonialisme dalam Sitti Nurbaya
DOAJ | 2021
|