A platform for research: civil engineering, architecture and urbanism
Kedudukan Hukum Adat dalam Otonomi Khusus
ABSTRACT : Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Bab XII dan XIII diatur tentang Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat. Pasal 98 Undang-undang ini menyebutkan lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat. Pada ayat berikutnya dalam pasal ini, menyebutkan tentang penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat, ditempuh melalui lembaga adat. Lembaga Adat seperti yang disebutkan di atas, meliputi : Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim atau nama lain, Imeum Chik atau nama lain, Keuchik atau nama lain, Tuha Peut atau nama lain, Tuha Lapan atau nama lain, Imeum Meunasah atau nama lain, Keujruen Blang atau nama lain, Panglima Laot atau nama lain, Pawang Glee atau nama lain, Peutua Seuneubok atau nama lain, Haria Peukan atau nama lain dan Syahbanda atau nama lain. Dalam pasal 99 Undang-undang Pemerintahan Aceh ini, disebutkan bahwa pembinaan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai Syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Selanjutnya disebutkan, bahwa penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe. Untuk lebih lanjut, hal diatas diatur dengan qanun tersendiri. Kebutuhan manusia akan keteraturan melahirkan adagium “Ibi Ius Ibi Sociales”, artinya dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Adagium ini juga menunjukkan bahwa setiap masyarakat mempunyai hukum tersendiri yang dapat saja berbeda dengan masyarakat lainnya, sesuai dengan filosofi yang dianut oleh masyarakat tertentu. The Existence of Customary Law in Special Autonomy
Kedudukan Hukum Adat dalam Otonomi Khusus
ABSTRACT : Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Bab XII dan XIII diatur tentang Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat. Pasal 98 Undang-undang ini menyebutkan lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat. Pada ayat berikutnya dalam pasal ini, menyebutkan tentang penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat, ditempuh melalui lembaga adat. Lembaga Adat seperti yang disebutkan di atas, meliputi : Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim atau nama lain, Imeum Chik atau nama lain, Keuchik atau nama lain, Tuha Peut atau nama lain, Tuha Lapan atau nama lain, Imeum Meunasah atau nama lain, Keujruen Blang atau nama lain, Panglima Laot atau nama lain, Pawang Glee atau nama lain, Peutua Seuneubok atau nama lain, Haria Peukan atau nama lain dan Syahbanda atau nama lain. Dalam pasal 99 Undang-undang Pemerintahan Aceh ini, disebutkan bahwa pembinaan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai Syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Selanjutnya disebutkan, bahwa penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe. Untuk lebih lanjut, hal diatas diatur dengan qanun tersendiri. Kebutuhan manusia akan keteraturan melahirkan adagium “Ibi Ius Ibi Sociales”, artinya dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Adagium ini juga menunjukkan bahwa setiap masyarakat mempunyai hukum tersendiri yang dapat saja berbeda dengan masyarakat lainnya, sesuai dengan filosofi yang dianut oleh masyarakat tertentu. The Existence of Customary Law in Special Autonomy
Kedudukan Hukum Adat dalam Otonomi Khusus
Darmawan Darmawan (author)
2010
Article (Journal)
Electronic Resource
Unknown
Metadata by DOAJ is licensed under CC BY-SA 1.0
Otonomi Khusus di Aceh dan Papua di Tengah Fenomena Korupsi, Suatu Strategi Penindakan Hukum
DOAJ | 2018
|